Rian Mustaufa
Universitas Negeri Yogyakarta
Email : riannew45@gmail.com
Pendidikan
merupakan salah satu aspek dalam pembangunan nasional. Pendidikan memiliki
peran yang sangat strategis dan amatlah
penting dalam mewujudkan pembangunan nasional Indonesia, khususnya dalam upaya
pembangunan sumber daya manusia. Di era sekarang ini, pendidikan menghadapi
berbagai tantangan terutama dalam upaya nya untuk menciptakan sumber daya
manusia yang unggul dan dapat bersaing secara global. Masyarakat dituntut untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk dapat mengikuti
perkembangan zaman.
Salah
satu caranya adalah dengan menempuh pendidikan setinggi mungkin. Melalui pendidikan akan
tertanam nilai-nilai pengetahuan dan ketrampilan serta penanaman karakter bagi
siswa. Dengan menempuh pendidikan di sekolah, anak dituntut untuk menguasai
kompetensi dasar yang ada disekolah sebagai tolok ukur capaian siswa, sehingga
dengan pencapaian kompetensi tersebut baik dari bidang akademik dan non-akademik diharapkan akan
menciptakan siswa yang berkompetensi.
Namun
demikian, masih banyak ditemui anak yang tidak menempuh pendidikan secara
maksimal khususnya di daerah tempat tinggal penulis, yaitu di Kabupaten
Gunugkidul. Gunungkidul merupakan salah satu Kabupaten yang berada di wilayah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten yang berada di bagian selatan
kota Yogyakarta ini merupakan salah satu daerah dengan angka putus sekolah
tertinggi di Yogyakarta.
Menurut
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul, Bahron
Rosyid dikutip dari Tribunjogja.com (2/3/2018), bahwa angka putus sekolah di
wilayah Kabupaten Gunungkidul masih cukup tinggi. Berdasarkan data Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul tahun 2018, angka putus
sekolah untuk jenjang sekolah dasar mencapai tiga persen atau 1.710 dari 57.000
siswa, untuk jenjang SMP mencapai tiga persen atau 810 dari 27.000 anak, dan
untuk jenjang SMA/SMK mencapai enam persen atau 1.620 dari 27.000 anak.
Dari
data tersebut dapat kita cermati bahwa angka putus sekolah di Kabupaten
Gunungkidul masih cukup tinggi. Dengan kondisi yang demikian ini tentu akan mempengaruhi
pembangunan di Kabupaten Gunungkidul. Data Badan Pembangunan Daerah DIY tahun
2019 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gunungkidul masih
rendah yaitu 69,96. Dari data tersebut, Kabupaten Gunungkidul menjadi wilayah
dengan IPM terendah di DIY. Sektor pendidikan juga turut menyumbangkan andil
terhadap rendahnya IPM di Gunungkidul.
Keadaan
sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah juga menjadi kendala. Tercatat pada
tahun 2018 melalui data dari Badan Pusat Statistik Gunungkidul, jumlah penduduk
miskin yaitu sebanyak 17,12 %. Pengaruh kemiskinan dan juga ekonomi tersebut
menjadi salah satu faktor utama mengapa angka putus sekolah di Kabupaten
Gunungkidul menjadi cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan tahun 2017 memang
angkanya turun sekitar 1 %, namun tetap masih lebih rendah dari pada wilayah
lainnya di DIY. Sehingga dengan kondisi tersebut juga berdampak pada berbagai
bidang kehidupan, salah satunya pada bidang pendidikan.
Masyarakat
lebih mementingkan tentang bagaimana mereka bisa mendapatkan penghasilan dengan
bekerja dari pada uang mereka dipergunakan untuk bersekolah. Banyak anggapan
masyarakat yang masih memandang pendidikan itu sebelah mata atau kurang
penting, yang penting bisa bekerja untuk memenuhi ekonomi keluarga. Kondisi
ekonomi yang tidak memungkinkan bagi anak untuk melanjutkan pendidikan dan
faktor lingkungannya yang juga mendukung untuk itu, menjadikan anak-anak di
Gunungkidul enggan untuk melanjutkan sekolahnya. Sebab tanpa bersekolah pun
mereka bisa memperoleh penghasilan dengan bekerja. Walaupun pekerjaan tersebut
bisa dikatakan serabutan.
Memang
mindset yang demikian ini tidak anut
oleh setiap orang di Gunungkidul. Karena masih banyak orang tua yang sadar akan
pentingnya pendidikan bagi anak mereka, walaupun mereka harus mengorbankan
harta benda mereka demi keberlangsungan pendidikan anak. namun, mereka tetap
merelakannya karena sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak mereka. Namun
demikian, pola pikir seperti ini kadang hanya dimiliki oleh masyarakat di
lingkungan perkotaan atau wilayah pinggiran kota yang sudah berbudaya lebih
maju. Sedangkan, untuk masyarakat pedesaan masih berpendapat bahwa pendidikan
itu bukanlah hal yang harus di prioritaskan.
Jangan
sampai kondisi ekonomi yang rendah menjadi penghambat anak untuk bersekolah.
Karena pada kenyataannya masih banyak anak yang memiliki cita-cita untuk
melanjutkan hingga ke pendidikan tinggi, namun mereka terkendala dengan kondisi
ekonomi keluarga dan izin dari orang tua mereka. Orang tua akan cenderung
menyuruh anaknya untuk mencari pekerjaan saja atau bahkan merantau ke luar
daerah untuk mencari pekerjaan. Semua itu didasari tujuan untuk memperbaiki
perekonomian keluarga. Padahal anak tersebut sejatinya menginginkan untuk
melanjutkan pendidikannya, namun itu semua harus terhambat karena faktor
ekonomi tersebut.
Padahal
pemerintah juga sudah mencoba memberikan kemudahan dan bantuan pendidikan
kepada warga negara yang kekurangan secara ekonomi dengan mengeluarkan
beasiswa, masyarakat hanya perlu berusaha mencari informasi mengenai beasiswa
yang ada dan yang kiranya bisa mereka dapatkan. Sehingga anak-anak mereka tetap
bisa melanjutkan pendidikanya, tanpa harus dibayangi dengan biaya sekolah yang
tinggi. Namun, tetap saja hal ini tidak menyelesaikan masalah yang ada, karena
pandangan masyarakat yang sudah menganggap bahwa sekolah itu kurang penting dan
lebih baik bekerja dari pada menempuh pendidikan. Mindset yang seperti demikian yang masih sangat sulit untuk
dihilangkan.
Karena
didalam lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat desa lingkungan sosial
sangatlah mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan seseorang. Masyarakat di
desa akan lebih mempertimbangkan faktor sosial lingkungannya dari pada
kebutuhan dan pendapat mereka pribadi. Kondisi ini menurut penulis merupakan
kondisi yang kurang subjektif, karena seseorang akan mempertimbangkan apa yang
akan ia lakukan berdasarkan pandangan dan pendapat orang yang berada
dilingkungan sekitarnya. Hal ini memang sudah sangat umum terjadi dilingkungan
desa, karena memang kultur budaya masyarakat desa yang masih sangat kuat.
Namun, kadang hal seperti ini yang menurut penulis sebagai sesuatu yang
menghambat dan membatasi hak seseorang untuk menempuh pendidikan yang dia
inginkan.
Misalnya,
ada seseorang petani bercita-cita ingin menyekolahkan anaknya hingga perguruan
tinggi dan ia rela mengorbankan harta bendanya untuk membiayai anaknya tersebut
dalam menempuh pendidikan, walaupun kondisi ekonominya rendah. Maka sudah pasti akan banyak suara yang masuk
atau berargumen bahkan menyindir terhadap keputusan tersebut. Karena dianggap
orang tersebut tidak menyadari dengan kondisi ekonominya yang rendah tersebut.
Dengan berbagai suara yang masuk itu, kadang kita juga merasa tidak kuat dan
untuk meredamnya adalah dengan mengurungkan niat tersebut. Sehingga anak yang
tadinya sudah mempunyai harapan untuk bisa melanjutkan menempuh pendidikan
selanjtnya harus mengubur harapanya itu, hanya karena faktor sosial di
masyarakat.
Kondisi
demikian ini yang menurut penulis perlu untuk dihilangkan, karena dengan
kondisi yang demikian ini berarti kita masih dalam keadaan terjajah dan belum
merdeka. Seharusnya sebagai manusia merdeka, janganlah kita membatasi impian
kita untuk menempuh pendidikan yang tinggi hanya karena faktor sosial dari luar
diri kita yang tidak mendukung hal tersebut. Karena manusia yang merdeka adalah
manusia yang tidak akan mundur hanya karena pendapat orang lain yang membuat
kita down, namun sebaliknya kita
malah harus bersemangat untuk menempuh pendidikan yang tinggi dan membuktikan
kepada orang-orang bahwa kita bisa berhasil dengan pendidikan yang kita tempuh
tersebut. Sehingga hal tersebut diharapkan akan mengubah mindset mereka terhadap pendidikan yang dianggap kurang penting.
Pendidikan
merupakan barang public yang setiap orang seharusnya bisa memperolehnya. Namun,
karena beberapa faktor terutama faktor ekonomi, menjadikan pendidikan sebagai
barang yang sulit untuk dinikmati oleh semua orang bahkan hanya orang-orang
yang dianggap mampu saja yang bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan
tinggi. Kondisi ini yang juga dialami oleh sebagian dari masyarakat
Gunungkidul, terutama bagi mereka yang dari segi ekonomi adalah kalangan
menengah kebawah. Karena kondisi ekonomi tersebut akses mereka untuk menempuh
pendidikan menjadi dibatasi. Dengan kondisi yang ekonomi yang demikian ini dan
juga didorong oleh faktor lingkungan sosial, maka pendidikan di masyarakat
Gunungkidul menjadi sebuah hal yang dianggap kurang penting atau kurang
mendapatkan parhatian dari sebagian masyarakat. Disini perlu adanya pemahaman
dan merubah mindset masyarakat
tersebut agar pendidikan di Gunungkidul lebih diperhatikan dan bisa mengurangi
angka putus sekolah yang ada. Sehingga dengan angka putus sekolah yang semakin
rendah akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan
masyarakat di Kabupaten Gunungkidul.