Showing posts with label bahasa indonesia. Show all posts
Showing posts with label bahasa indonesia. Show all posts
PENGARUH  SOSIAL EKONOMI TERHADAP ANGKA PUTUS SEKOLAH DI GUNUNGKIDUL

PENGARUH SOSIAL EKONOMI TERHADAP ANGKA PUTUS SEKOLAH DI GUNUNGKIDUL


Rian Mustaufa
Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan merupakan salah satu aspek dalam pembangunan nasional. Pendidikan memiliki peran  yang sangat strategis dan amatlah penting dalam mewujudkan pembangunan nasional Indonesia, khususnya dalam upaya pembangunan sumber daya manusia. Di era sekarang ini, pendidikan menghadapi berbagai tantangan terutama dalam upaya nya untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan dapat bersaing secara global. Masyarakat dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk dapat mengikuti perkembangan zaman.
Salah satu caranya adalah dengan menempuh pendidikan  setinggi mungkin. Melalui pendidikan akan tertanam nilai-nilai pengetahuan dan ketrampilan serta penanaman karakter bagi siswa. Dengan menempuh pendidikan di sekolah, anak dituntut untuk menguasai kompetensi dasar yang ada disekolah sebagai tolok ukur capaian siswa, sehingga dengan pencapaian kompetensi tersebut baik dari bidang  akademik dan non-akademik diharapkan akan menciptakan siswa yang berkompetensi.
Namun demikian, masih banyak ditemui anak yang tidak menempuh pendidikan secara maksimal khususnya di daerah tempat tinggal penulis, yaitu di Kabupaten Gunugkidul. Gunungkidul merupakan salah satu Kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten yang berada di bagian selatan kota Yogyakarta ini merupakan salah satu daerah dengan angka putus sekolah tertinggi di Yogyakarta.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul, Bahron Rosyid dikutip dari Tribunjogja.com (2/3/2018), bahwa angka putus sekolah di wilayah Kabupaten Gunungkidul masih cukup tinggi. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul tahun 2018, angka putus sekolah untuk jenjang sekolah dasar mencapai tiga persen atau 1.710 dari 57.000 siswa, untuk jenjang SMP mencapai tiga persen atau 810 dari 27.000 anak, dan untuk jenjang SMA/SMK mencapai enam persen atau 1.620 dari 27.000 anak.
Dari data tersebut dapat kita cermati bahwa angka putus sekolah di Kabupaten Gunungkidul masih cukup tinggi. Dengan kondisi yang demikian ini tentu akan mempengaruhi pembangunan di Kabupaten Gunungkidul. Data Badan Pembangunan Daerah DIY tahun 2019 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Gunungkidul masih rendah yaitu 69,96. Dari data tersebut, Kabupaten Gunungkidul menjadi wilayah dengan IPM terendah di DIY. Sektor pendidikan juga turut menyumbangkan andil terhadap rendahnya IPM di Gunungkidul.
Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah juga menjadi kendala. Tercatat pada tahun 2018 melalui data dari Badan Pusat Statistik Gunungkidul, jumlah penduduk miskin yaitu sebanyak 17,12 %. Pengaruh kemiskinan dan juga ekonomi tersebut menjadi salah satu faktor utama mengapa angka putus sekolah di Kabupaten Gunungkidul menjadi cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan tahun 2017 memang angkanya turun sekitar 1 %, namun tetap masih lebih rendah dari pada wilayah lainnya di DIY. Sehingga dengan kondisi tersebut juga berdampak pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya pada bidang pendidikan.
Masyarakat lebih mementingkan tentang bagaimana mereka bisa mendapatkan penghasilan dengan bekerja dari pada uang mereka dipergunakan untuk bersekolah. Banyak anggapan masyarakat yang masih memandang pendidikan itu sebelah mata atau kurang penting, yang penting bisa bekerja untuk memenuhi ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan bagi anak untuk melanjutkan pendidikan dan faktor lingkungannya yang juga mendukung untuk itu, menjadikan anak-anak di Gunungkidul enggan untuk melanjutkan sekolahnya. Sebab tanpa bersekolah pun mereka bisa memperoleh penghasilan dengan bekerja. Walaupun pekerjaan tersebut bisa dikatakan serabutan.
Memang mindset yang demikian ini tidak anut oleh setiap orang di Gunungkidul. Karena masih banyak orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak mereka, walaupun mereka harus mengorbankan harta benda mereka demi keberlangsungan pendidikan anak. namun, mereka tetap merelakannya karena sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak mereka. Namun demikian, pola pikir seperti ini kadang hanya dimiliki oleh masyarakat di lingkungan perkotaan atau wilayah pinggiran kota yang sudah berbudaya lebih maju. Sedangkan, untuk masyarakat pedesaan masih berpendapat bahwa pendidikan itu bukanlah hal yang harus di prioritaskan.
Jangan sampai kondisi ekonomi yang rendah menjadi penghambat anak untuk bersekolah. Karena pada kenyataannya masih banyak anak yang memiliki cita-cita untuk melanjutkan hingga ke pendidikan tinggi, namun mereka terkendala dengan kondisi ekonomi keluarga dan izin dari orang tua mereka. Orang tua akan cenderung menyuruh anaknya untuk mencari pekerjaan saja atau bahkan merantau ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. Semua itu didasari tujuan untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Padahal anak tersebut sejatinya menginginkan untuk melanjutkan pendidikannya, namun itu semua harus terhambat karena faktor ekonomi tersebut.
Padahal pemerintah juga sudah mencoba memberikan kemudahan dan bantuan pendidikan kepada warga negara yang kekurangan secara ekonomi dengan mengeluarkan beasiswa, masyarakat hanya perlu berusaha mencari informasi mengenai beasiswa yang ada dan yang kiranya bisa mereka dapatkan. Sehingga anak-anak mereka tetap bisa melanjutkan pendidikanya, tanpa harus dibayangi dengan biaya sekolah yang tinggi. Namun, tetap saja hal ini tidak menyelesaikan masalah yang ada, karena pandangan masyarakat yang sudah menganggap bahwa sekolah itu kurang penting dan lebih baik bekerja dari pada menempuh pendidikan. Mindset yang seperti demikian yang masih sangat sulit untuk dihilangkan.
Karena didalam lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat desa lingkungan sosial sangatlah mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan seseorang. Masyarakat di desa akan lebih mempertimbangkan faktor sosial lingkungannya dari pada kebutuhan dan pendapat mereka pribadi. Kondisi ini menurut penulis merupakan kondisi yang kurang subjektif, karena seseorang akan mempertimbangkan apa yang akan ia lakukan berdasarkan pandangan dan pendapat orang yang berada dilingkungan sekitarnya. Hal ini memang sudah sangat umum terjadi dilingkungan desa, karena memang kultur budaya masyarakat desa yang masih sangat kuat. Namun, kadang hal seperti ini yang menurut penulis sebagai sesuatu yang menghambat dan membatasi hak seseorang untuk menempuh pendidikan yang dia inginkan.
Misalnya, ada seseorang petani bercita-cita ingin menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dan ia rela mengorbankan harta bendanya untuk membiayai anaknya tersebut dalam menempuh pendidikan, walaupun kondisi ekonominya rendah.  Maka sudah pasti akan banyak suara yang masuk atau berargumen bahkan menyindir terhadap keputusan tersebut. Karena dianggap orang tersebut tidak menyadari dengan kondisi ekonominya yang rendah tersebut. Dengan berbagai suara yang masuk itu, kadang kita juga merasa tidak kuat dan untuk meredamnya adalah dengan mengurungkan niat tersebut. Sehingga anak yang tadinya sudah mempunyai harapan untuk bisa melanjutkan menempuh pendidikan selanjtnya harus mengubur harapanya itu, hanya karena faktor sosial di masyarakat.
Kondisi demikian ini yang menurut penulis perlu untuk dihilangkan, karena dengan kondisi yang demikian ini berarti kita masih dalam keadaan terjajah dan belum merdeka. Seharusnya sebagai manusia merdeka, janganlah kita membatasi impian kita untuk menempuh pendidikan yang tinggi hanya karena faktor sosial dari luar diri kita yang tidak mendukung hal tersebut. Karena manusia yang merdeka adalah manusia yang tidak akan mundur hanya karena pendapat orang lain yang membuat kita down, namun sebaliknya kita malah harus bersemangat untuk menempuh pendidikan yang tinggi dan membuktikan kepada orang-orang bahwa kita bisa berhasil dengan pendidikan yang kita tempuh tersebut. Sehingga hal tersebut diharapkan akan mengubah mindset mereka terhadap pendidikan yang dianggap kurang penting.
Pendidikan merupakan barang public yang setiap orang seharusnya bisa memperolehnya. Namun, karena beberapa faktor terutama faktor ekonomi, menjadikan pendidikan sebagai barang yang sulit untuk dinikmati oleh semua orang bahkan hanya orang-orang yang dianggap mampu saja yang bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Kondisi ini yang juga dialami oleh sebagian dari masyarakat Gunungkidul, terutama bagi mereka yang dari segi ekonomi adalah kalangan menengah kebawah. Karena kondisi ekonomi tersebut akses mereka untuk menempuh pendidikan menjadi dibatasi. Dengan kondisi yang ekonomi yang demikian ini dan juga didorong oleh faktor lingkungan sosial, maka pendidikan di masyarakat Gunungkidul menjadi sebuah hal yang dianggap kurang penting atau kurang mendapatkan parhatian dari sebagian masyarakat. Disini perlu adanya pemahaman dan merubah mindset masyarakat tersebut agar pendidikan di Gunungkidul lebih diperhatikan dan bisa mengurangi angka putus sekolah yang ada. Sehingga dengan angka putus sekolah yang semakin rendah akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan masyarakat di Kabupaten Gunungkidul.